Konsili Nicea dan Tuduhan Penciplakan Filsafat Yunani: Sebuah Kajian Historis dan Teologis
Konsili Nicea (325 M) merupakan tonggak penting dalam sejarah Kekristenan yang menegaskan keilahian Kristus dan menolak ajaran Arianisme. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul tuduhan bahwa ajaran-ajaran yang dirumuskan dalam konsili tersebut menciplak filsafat Yunani atau bahkan mitologi kafir. Tulisan ini bertujuan membahas latar belakang sejarah Konsili Nicea, pokok perdebatan teologis yang terjadi, serta menanggapi secara kritis tuduhan tersebut dengan pendekatan historis dan teologis.
1. Pendahuluan
Konsili Nicea diselenggarakan oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 325 M di Nicea (sekarang Iznik, Turki). Tujuan utamanya adalah meredakan perpecahan dalam gereja yang dipicu oleh ajaran Arius yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah makhluk ciptaan, bukan Allah sejati. Konsili ini menjadi penentu dalam pembentukan Kristologi dan fondasi doktrin Tritunggal dalam gereja arus utama.
2. Latar Belakang
Historis Konsili Nicea Setelah penganiayaan berat selama tiga abad, Kekristenan mulai diakui secara resmi melalui Edik Milan (313 M). Dalam suasana baru ini, gereja menghadapi perpecahan internal akibat ajaran Arianisme. Arius, seorang presbiter dari Aleksandria, menolak keilahian sejati Kristus dan menyatakan bahwa "ada waktu ketika Anak tidak ada."
Konstantinus, sebagai kaisar, menginginkan kesatuan demi stabilitas Kekaisaran, sehingga mengundang para uskup untuk menyelesaikan perdebatan ini. Sekitar 300 uskup hadir, didominasi dari wilayah Timur, bersama para teolog seperti Athanasius dan Eusebius.
3. Keputusan Teologis Konsili
Konsili menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah "diperanakkan, bukan diciptakan, satu hakikat (homoousios) dengan Bapa." Pernyataan ini terangkum dalam Pengakuan Iman Nicea. Ajaran Arius ditolak dan para pengikutnya dikucilkan. Konsili menegaskan bahwa Yesus adalah sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, sebuah pernyataan yang kemudian menjadi dasar doktrin Trinitas.
4. Pengaruh Filsafat Yunani
Antara Bahasa dan Isi Istilah seperti "ousia" (hakikat) dan "logos" memang berasal dari filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan Stoikisme. Namun, penggunaannya dalam konteks Kristen tidak berarti meniru atau menciplak isi ajaran Yunani. Gereja menggunakan bahasa tersebut untuk menjelaskan wahyu ilahi secara konseptual dan sistematis. Bahasa adalah alat, bukan esensi iman. Para Bapa Gereja sadar akan perbedaan ontologis antara Allah Tritunggal dan gagasan politeistik Yunani.
5. Menanggapi Tuduhan Sinkretisme dan Plagiarisme Beberapa teori modern menyamakan Kristus dengan dewa-dewa seperti Mithras, Horus, atau Dionysus. Namun, klaim-klaim ini umumnya tidak memiliki dasar historis yang kuat. Banyak perbedaan mendasar:
Yesus adalah pribadi historis yang disalibkan di bawah Pontius Pilatus (disaksikan oleh sumber Kristen dan non-Kristen). Kekristenan percaya akan inkarnasi: Allah menjadi manusia, bukan manusia menjadi ilah. Gereja mula-mula menolak sinkretisme dan justru dianiaya karena menolak berkompromi dengan agama Romawi.
6. Kesimpulan
Konsili Nicea bukanlah bentuk penciplakan ajaran Yunani, melainkan usaha gereja untuk menyatakan iman alkitabiah secara jelas, sistematis, dan relevan dalam konteks budaya saat itu. Penggunaan istilah Yunani bersifat metodologis, bukan ideologis. Tuduhan sinkretisme atau plagiarisme tidak memiliki dasar kuat secara historis maupun teologis. Gereja mula-mula setia pada Injil dan berani menolak ajaran yang menyimpang, termasuk yang lebih mudah diterima oleh kebudayaan Yunani-Romawi.
Daftar Pustaka
González, Justo L. The Story of Christianity, Vol. 1.
Kelly, J.N.D. Early Christian Doctrines.
Schaff, Philip. History of the Christian Church.
Pelikan, Jaroslav. The Christian Tradition: A History of the Development of Doctrine.
Ayres, Lewis. Nicaea and Its Legacy.